Fatwa MUI Dalam Pembentukan Undang-Undang
Fatwa MUI Dalam Pembentukan Undang-Undang – Posisi MUI jika dilihat secara kelembagaan ada di ranah wilayah infrastruktur politik. Infrastruktur politik itu sendiri adalah sekelompok lembaga yang ada di dalam masyarakat.
Berada di tengah-tengah masyarakat dan merupakan detak jantung kehidupan komunitas sosial budaya.
Infrastruktur lebih banyak pada ruang pemberdayaan komunitas sehingga tindakan hanya dapat dilihat dengan menjelajahi komunitas itu adalah.
Karena MUI adalah organisasi yang merupakan ulama muslim yang memiliki tugas dan fungsi untuk memberdayakan masyarakat / Muslim.
Ini berarti bahwa MUI adalah sebuah organisasi ada di masyarakat, dan bukan lembaga milik negara atau mewakili Negara.
Ini juga berarti bahwa fatwa MUI bukanlah hukum negara yang memiliki kedaulatan yang bisa dipaksakan pada semua orang. Fatwa MUI juga tidak memiliki sanksi dan tidak harus dipatuhi oleh semua warga negara.
Sebagai kekuatan sosial dan politik dalam infrastruktur konstitusional, fatwa MUI hanya mengikat dan mematuhinya komunitas Muslim yang merasa memiliki ikatan dengan MUI itu sendiri.
MUI Dalam Pembentukan Undang-Undang
Itu adalah, bahkan legalitas fatwa MUI tidak dapat dan mampu memaksanya untuk dipatuhi semua muslim. Terutama untuk memaksa dan harus dipatuhi oleh semua warga negara Indonesia.
Fatwa MUI memiliki kekuatan independen yang mendorong politik pemerintah merumuskan peraturan yang mengembuskan substansi ajaran Islam. Fatwa seperti itu memiliki kekuatan kontrol atas politik pemerintah.
Kekuatan independen MUI ini pengaruh hubungan antara fatwa MUI dan politik pemerintahan di Indonesia pola kemerdekaan berdasarkan masyarakat sipil. Ada beberapa pola fatwa pasca-MUI reformasi.
Pertama, fatwa yang memperkuat ketahanan NKRI. Kedua, fatwa mereka yang memiliki kekuatan alasan publik adalah sumber dari penyusunan undang-undang, seperti fatwa melarang Ahmadiyah, pornografi, peraturan syariah dan bank syariah.
Ketiga, fatwa yang berdampak pada pembentukan opini publik partisipatif pemilihan umum seperti fatwa haram golput, kandidat legislatif non-Muslim dan presiden wanita.
Fatwa dalam sistem hukum Islam, memiliki peran dominan dalam memberikan pertimbangan hukum dalam masyarakat, bahkan jika mereka dianggap tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat (gbair mulzimah), berbeda dengan kasus dengan putusan pengadilan tidak sah (mengikat).
Dalam konteks keindonesiaan, status fatwa MUI memiliki pengaruh yang signifikan, telah menjadi fondasi untuk pembangunan Etika politik Islam dan hukum Islam di Indonesia.
Posisi fatwa dalam konteks hubungan syariah dan hukum negara dapat menjadi model untuk desain hukum nasional Indonesia.
Dalam konteks ketentuan hukum di Indonesia, fatwa bukanlah aturan wajib diikuti dan ditegakkan. Indonesia adalah negara yang memiliki sistem ganda di dalamnya semua bidang termasuk di bidang hukum.
Hukum Eropa Kontinental, Hukum Adat, dan Hukum Islam adalah hukum yang masih bertahan di negara ini. Fatwa itu sendiri termasuk ke dalam hukum Islam, dan dapat dipertimbangkan dalam undang-undang dan keputusan hakim di pengadilan.
Melihat kondisi di atas, fatwa bukanlah aturan yang mengikat. Mungkin akan berbeda dari negara-negara Muslim lainnya. Di Indonesia, selama fatwa belum diserap dalam undang-undang atau setidaknya dalam ‘pengesahan’ oleh peraturan undang-undang, fatwa tidak bisa ditegakkan.
Itu berarti hukum memberikan kewajiban untuk mematuhi fatwa. Seperti halnya fatwa MUI DSN tentang ekonomi syariah.
Fatwa ini mengikat atau harus diikuti oleh pelaku bisnis syariah. Karena undang undang mengatakan bahwa prinsip-prinsip syariah adalah ketentuan sebagaimana tercantum dalam fatwa DSN-MUI.
Fatwa tidak berarti produk yang sia-sia, fatwa MUI akan selalu menjadi jawaban hukum untuk masalah baru, karena itu adalah hasil ijtihad. Selain itu, fatwa MUI dapat menjadi input di dalamnya perubahan hukum yang akan dilakukan, seperti yang telah dilakukan oleh MUI selama ini dengan baik.
Dalam perbankan Islam, selain undang-undang, para Praktisi perbankan Islam juga membutuhkan Fatwa DSN-MUI sebagai referensi dalam berlatih perbankan syariah. Masalahnya adalah apakah fatwa DSN-MUI itu langsung mengikat bagi pelaku perbankan syariah sendiri atau tidak.
Secara yuridis sosiolog bisa mendapatkan jawaban bahwa fatwa DSN-MUI adalah seperangkat aturan yang tidak mengikat dan tidak ada kekuatan hukum untuk target tersebut penerbitan fatwa untuk memenuhi ketentuan fatwa, tetapi di sisi lain, berdasarkan hukum dan peraturan yang berlaku, ada kewajiban untuk regulator (Bank Indonesia) sehingga muatan material yang terkandung dalam Fatwa DSN-MUI terserap dan ditransformasikan sebagai prinsip syariah dalam konten materi peraturan undang-undang.
Hampir semua peraturan tentang kegiatan ekonomi syariah di sektor perbankan, asuransi syariah, pasar modal syariah menyebutkan prinsip syariah sesuai dengan Aluran dan Hadis terkandung dalam fatwa DSN-MUI.
Dengan demikian, fatwa DSN-MUI menjadi pedoman atau dasar untuk pelaksanaan kegiatan ekonomi Islam. Jadi fatwa DSN-MUI dapat bersifat alami mengikat karena diserap ke dalam undang-undang.
Banyak aturan Hukum dan aturan di bawah ini didasarkan pada fatwa DSN-MUI seperti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 19 Pada tahun 2008 tentang Efek Syariah Negara, dan Peraturan Mahkamah Agung tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.