Permasalahan Hukum di Indonesia (Makalah Hukum)
Makalah Permasalahan Hukum di Indonesia – Saat ini tidak mudah untuk menggambarkan kondisi hukum di Indonesia tanpa keprihatinan yang mendalam akan mendengar ratapan orang-orang yang terluka oleh hukum, dan kemarahan publik terhadap mereka yang menggunakan hukum untuk mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani.
Dunia hukum di Indonesia mendapat perhatian yang sangat tajam dari semua kalangan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Bidang hukum pidana adalah bidang hukum yang paling mudah untuk digunakan sebagai indikator apakah reformasi hukum yang dilakukan di Indonesia telah berjalan dengan baik atau tidak.
Hukum pidana tidak hanya berbicara tentang keputusan pengadilan tentang penanganan kasus pidana, tetapi juga mencakup semua proses dan sistem peradilan pidana.
Proses peradilan dimulai dengan investigasi oleh polisi dan berujung pada hukuman pidana dan kemudian berakhir dengan eksekusi hukuman itu sendiri oleh penjara.
Semua proses kriminal saat ini mendapat banyak perhatian dari masyarakat karena kinerja mereka, atau perilaku pejabat mereka yang jauh dari baik.
Permasalahan Hukum di Indonesia
Hukum di Indonesia yang bisa kita lihat hari ini bisa dikatakan hukum yang berantakan, mengapa? Karena dengan berita tentang kejahatan di televisi, surat kabar, dan media elektronik lainnya kita dapat menarik kesimpulan bahwa undang-undang di Indonesia kacau.
Banyak sekali peristiwa yang menggambarkannya, mulai dari tindakan kriminal yang diberikan oleh pencuri flip hingga pencuri uang publik.
Sebenarnya, masalah hukum di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa hal termasuk sistem peradilan, instrumen hukum, inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, dan perlindungan hukum.
Hukum negara adalah aturan untuk negara itu sendiri, bagaimana suatu negara menciptakan kondisi yang relevan, kondisi yang meyakinkan kehidupan sosial rakyatnya, menghindari segala bentuk tindakan kriminal dan sipil.
Tetapi tidak di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, pelaporan di media massa benar-benar tragis.
Bahkan hasil survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengatakan bahwa 56,0 persen masyarakat menyatakan ketidakpuasan terhadap penegakan hukum di Indonesia, hanya 29,8 persen menyatakan puas, sedangkan sisanya 14,2 persen tidak menjawab.
Sebuah fenomena yang menggambarkan betapa rendahnya otoritas hukum di mata publik.
Dengan dasar pemikiran ini, penulis akan mencoba menjelaskan kebijakan, masalah, dampak dan solusi dari penegakan hukum di Indonesia. Selain itu, penulis juga akan menjelaskan ketidakpuasan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Makalah Permasalahan Hukum di Indonesia |
Rumusan Masalah Hukum
Adapun rumusan masalah dalam perkara ini adalah sebagai berikut.1. Definisi kebijakan penegak hukum.
2. Problematika penegakan hukum.
3. Dampak dari penegakan hukum.
4. Ketidakpuasan masyarakat terhadap penerapannya.
5. Solusi serta cara menghadapai permasalahan penegakan hukum.
Tujuan
Tujuan dalam pembahasan ini adalah interpretasi terhadap rumusan permasalahan ini, yaitu.
1. Mengetahui definisi kebijakan penegak hukum.
2. Mengetahui problematika penegakan hukum
3. Mengetahui dampak dari penegakan hukum
4. Mengetahui ketidakpuasan masyarakat terhadap penerapannya.
5. Mengetahui solusi dan cara menghadapai permasalahan dalam penegakan hukum.
Manfaat
Adapun manfaat yang diharapkan dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui dasar-dasar dalam pembentukan hukum Negara.
2. Mengetahui problematika penegakan hukum yang berlaku.
3. Mengetahui dampak penegakan hukum.
4. Mengetahui alasan masyarakat tidak puas dengan penegakan hukum.
5. Mengetahui bisa menilai solusi pemecahan permasalahan hukum.
6. Khusus bagi pemerintahan, dapat memberikan sebuah gambaran tentang sistem penegakan hukum yang berlaku di masyarakat, serta diharapkan bisa menilai, menelaah atau membuat suatu keputusan dalam pemecahan masalah penegakan hukum tersebut.
Diskusi
A. Kebijakan Penegakan Hukum
Kebijakan adalah kecerdasan, keterampilan, kebijaksanaan; serangkaian konsep dan prinsip yang membentuk garis besar dan dasar rencana untuk pelaksanaan pekerjaan pemerintah, kepemimpinan, dan cara bertindak; pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau niat sebagai pedoman bagi manajemen dalam upaya mencapai tujuan kebijakan pemerintah mengenai moneter perlu dibahas oleh Parlemen (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 149).
Padahal penegakan adalah proses, metode, akta, dan penegakan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 1155). Selain itu hukum memiliki beberapa arti atau definisi hukum, termasuk:
Hukumnya adalah
1. Peraturan atau bea cukai yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikonfirmasi oleh pihak berwenang atau pemerintah;
2. Hukum, peraturan, dll. Untuk mengatur hubungan kehidupan orang-orang;
3. Tolok ukur (aturan, aturan) tentang peristiwa tertentu (sifat, dll.);
4. Keputusan (pertimbangan) diterapkan oleh hakim (di pengadilan); putusan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, 2005: 410)
Hukum adalah keseluruhan aturan atau metode dalam kehidupan bersama: seluruh regulasi perilaku yang berperilaku dalam kehidupan bersama, yang dapat ditegakkan dengan sanksi (Sudikno, 1999: 40).
Dengan demikian, kebijakan penegakan hukum adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas untuk memastikan tercapainya rasa keadilan dan ketertiban di masyarakat dengan menggunakan beberapa instrumen atau instrumen kekuasaan negara baik dalam bentuk undang-undang, hingga penegak hukum termasuk polisi , hakim, jaksa, dan pengacara.
Bangsa beradab adalah bangsa yang menjalankan fungsi hukumnya secara mandiri dan bermartabat. Kebebasan dan martabat berarti bahwa dalam penegakan hukum berkewajiban memihak keadilan, yaitu keadilan untuk semua.
Karena jika penegakan hukum dapat menerapkan nilai keadilan, tentunya penerapan fungsi hukum dilakukan dengan cara berpikir filosofis.
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia dilindungi, hukum harus diterapkan.
Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang harus selalu diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (Rechtssicherheit), ketidakpedulian (Zweckmassigkeit) dan keadilan (Gerechtigkeit) (Sudikno, 1999: 145).
Kepastian hukum adalah perlindungan yang dapat dibenarkan terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.
Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam implementasi atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, jadi penegakan hukum atau penegakan hukum harus bermanfaat bagi masyarakat.
Selain itu, masyarakat sangat peduli bahwa keadilan atau keadilan harus dilaksanakan. Dalam implementasi atau penegakan hukum harus adil (Sudikno, 1999: 146).Pasal 27 UUD 1945 dengan jelas menyatakan:
“Semua warga negara berada pada posisi yang sama dalam bidang hukum dan pemerintahan dan wajib menegakkan hukum dan pemerintahan tanpa kecuali.”
Rumusan tersebut menyiratkan bahwa semua warga negara Republik Indonesia memiliki hukum dan hak yang sama di hadapan pemerintah. Jadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia seharusnya tidak ada diskriminasi terhadap warga negara.
Bahkan penafsiran itu juga menyangkut prinsip kesetaraan yang berlaku bagi siapa saja, baik ia warga negara atau bukan, selama mereka adalah penduduk Republik Indonesia (Jimly, 2011: 110).
B. Masalah Penegakan Hukum di Indonesia
Masalah utama penegakan hukum di negara-negara berkembang, khususnya Indonesia, bukanlah sistem hukum itu sendiri, melainkan kualitas orang yang menjalankan hukum (law enforcement). Dengan demikian peran manusia yang menjalankan hukum (law enforcement) menempati posisi strategis.
Prinsip-prinsip ini memiliki tujuan, yaitu sebagai pedoman bagi penyelenggara negara untuk dapat mewujudkan seorang penyelenggara yang mampu melaksanakan fungsi dan tugasnya secara serius dan bertanggung jawab (Siswanto, 2005: 50).
Penegak hukum adalah panutan dalam masyarakat, yang harus memiliki kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pemahaman dari kelompok sasaran (masyarakat), selain mampu melaksanakan atau menjalankan peran yang dapat diterima oleh mereka.
Selain itu, kelompok model peran harus dapat memanfaatkan elemen pola tradisional tertentu, sehingga menggairahkan partisipasi kelompok sasaran atau masyarakat luas. Model peran juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat dalam memperkenalkan norma atau aturan hukum baru dan memberikan contoh yang baik (Soerjono, 2002: 34).
Namun, seperti yang telah kita lihat, salah satu penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia adalah rendahnya moralitas aparat penegak hukum (hakim, polisi, jaksa penuntut, dan advokat) dan korupsi peradilan yang telah tertanam hingga saat ini sehingga sulit untuk memberantas.
Keberadaan korupsi yudisial jelas menyulitkan penegakan hukum di Indonesia karena penegak hukum yang seharusnya menegakkan hukum terlibat dalam praktik korupsi, sehingga sulit diharapkan untuk dapat membantu menciptakan tata pemerintahan yang baik.
Penegakan hukum hanya dapat dilakukan jika lembaga hukum (hakim, jaksa, polisi dan pengacara) bertindak secara profesional, jujur dan menerapkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik.
Beberapa masalah mengenai penegakan hukum, tentu saja, tidak dapat dipisahkan dari kenyataan, bahwa berfungsinya hukum sangat tergantung pada hubungan yang harmonis antara hukum itu sendiri, penegakan hukum, fasilitasnya dan orang-orang yang diaturnya.
Ketimpangan pada satu elemen tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa keseluruhan sistem akan terpengaruh secara negatif (Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, 1987: 20). Misalnya, jika hukum tertulis yang mengatur bidang kehidupan tertentu dan bidang terkait lainnya menjadi cacat.
Maka semua lapisan masyarakat akan merasakan konsekuensi dari kepahitan.Penegak hukum yang ditugaskan untuk mengimplementasikan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, termasuk: pejabat strata atas, menengah dan bawah.
Tujuannya adalah sejauh mana petugas harus memiliki pedoman, salah satunya adalah peraturan tertulis yang mencakup ruang lingkup tugas mereka. Dalam penegakan hukum, menurut Soerjono Soekanto seperti dikutip oleh Zainuddin Ali, kemungkinan penegak hukum menghadapi hal-hal berikut:a) Sejauh mana petugas terikat oleh peraturan yang ada,
c) Contoh apa yang harus diberikan petugas kepada masyarakat,
d) Sejauh mana tingkat sinkronisasi penugasan yang diberikan kepada petugas sehingga dapat memberikan batasan ketat pada wewenang mereka (Zainuddin, 2006: 95).Lemahnya mentalitas aparat penegak hukum mengakibatkan penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Banyak faktor yang mempengaruhi lemahnya mentalitas aparat penegak hukum termasuk lemahnya pemahaman agama, ekonomi, proses rekrutmen yang tidak transparan dan sebagainya.
Sehingga dapat ditekankan bahwa faktor penegakan hukum memainkan peran penting dalam berfungsinya hukum. Jika aturannya bagus, tapi kualitas penegakan hukumnya rendah, akan ada masalah.
Demikian juga, jika aturannya buruk sementara kualitas penegakan hukumnya bagus, kemungkinan masalahnya masih terbuka.Kondisi nyata yang terjadi saat ini di Indonesia menunjukkan kegagalan aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum.
Kegagalan penegakan hukum secara keseluruhan dapat dilihat dari kondisi ketidakmampuan (unability) dan keengganan (keengganan) aparat penegak hukum itu sendiri.
Ketidakmampuan penegakan hukum disebabkan oleh kurangnya profesionalisme pihak berwenang, sedangkan keengganan penegakan hukum terkait dengan KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) yang dilakukan oleh penegak hukum adalah rahasia umum.
Terlepas dari dua hal di atas, kelemahan penegakan hukum di Indonesia juga bisa dilihat dari ketidakpuasan masyarakat karena hukum yang merupakan nota sebagai forum untuk mencari keadilan bagi masyarakat, tetapi justru memberikan rasa ketidakadilan.
Akhir-akhir ini ada banyak masalah yang sedang hangat dibicarakan, salah satunya adalah masalah korupsi. Kasus ini sepertinya sudah menjadi tradisi yang sudah mendarah daging di bangsa ini.
Penyakit korupsi telah menjangkiti semua lapisan masyarakat, bahkan yang saat ini bersangkutan adalah para pejabat yang seharusnya menjadi penegak hukum dalam kasus ini juga terlibat di dalamnya. Salah satu lembaga yang menjadi perhatian adalah peradilan.
Korupsi telah menyebar dan mencemari hampir semua lembaga penegak hukum kami termasuk lembaga peradilan.
Misalnya, tentang kesalahan penegakan hukum di Indonesia seperti ketika seseorang mencuri sandal, ia diadili dan didenda hanya karena mencuri sandal briptu yang harganya bisa dibilang murah, sementara koruptor di Indonesia bisa merajalela, menikmati kehidupan seolah-olah tanpa dosa, karena mereka memandang rendah hukum yang ada di Indonesia.
Kami mengambil contoh Arthalyta Suryani, yang menempati ruang tahanan yang dianggap mewah dari tahanan lain karena dilengkapi dengan fasilitas televisi, lemari es, AC, dan bahkan kamar karokean.
Ini kemudian menunjukkan diskriminasi dalam penghentian kasus oleh peradilan kita di mana orang miskin yang tidak memiliki kekuatan keuangan seolah-olah hukum itu menunjuk kepadanya sementara mereka yang memiliki uang menganggap hukum dapat dibeli bahkan saya menganggap bahwa sel-sel penahanan mereka tidak layak disebut sel tetapi hotel sementara sementara orang miskin merasakan sel penahananHukum di negara kita dapat dengan mudah didistorsi atau disuap, dengan inkonsistensi hukum di Indonesia.
Selain peradilan, ternyata polisi tidak bebas dari penyelewengan hukum. Misalnya ketika ditabrak oleh tiket polisi lalu lintas, ada sejumlah polisi yang tidak bermoral yang ingin atau bahkan kadang meminta suap agar kasus ini tidak diperpanjang, polisi juga mendapatkan manfaat materi dengan cepat tetapi salah tempat. Ini adalah contoh nyata di lingkungan kita.
Kesetaraan di hadapan hukum yang telah dikampanyekan oleh pemerintah sebenarnya belum efektif. Undang-undang saat ini di Indonesia tampaknya hanya mendukung segelintir orang.
Aturan hukum di Indonesia masih harus ditingkatkan untuk memenangkan kepercayaan publik dan komunitas internasional, tentu saja, pada sistem hukum Indonesia.
Masih banyak kasus ketidakadilan hukum yang terjadi di negara kita. Keadilan harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki posisi dan perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali. Namun, yang terjadi justru sebaliknya di Indonesia. Hukum tampak tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Ini dibuktikan dengan banyaknya kasus yang telah terjadi, misalnya hanya kasus nenek Minah yang dihukum 1,5 bulan penjara karena mencuri tiga kakao. Bagaimanapun mencuri tidak dibenarkan.
Namun, kita juga harus melihatnya dari sisi manusia. Betapa tidak adilnya ketika orang sekecil itu benar-benar ditekan sementara pejabat yang merusak jutaan bahkan milyaran rupiah begitu saja, meski ada yang terjebak dalam hukuman tetapi penjara itu seperti kamar hotel.
Apa yang sebenarnya terjadi pada lembaga penegak hukum kita, sehingga keadilan untuk semua (keadilan untuk semua) berubah menjadi keadilan bukan untuk semua (keadilan untuk tidak semua).
Hukum di negara kita tampaknya tidak menunjukkan cerminan kesetaraan di hadapan hukum yang didistribusikan secara merata ke semua lapisan masyarakat tetapi tampaknya tajam ke bawah kepada orang miskin tetapi membosankan dan ke atas terhadap mereka yang punya uang.
Berbagai kasus terkait penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan menjadi cambuk atau pukulan dan menjadi potret buram bagi kita semua sebagai satu kesatuan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ini adalah ironi kita sendiri.Di Indonesia, undang-undang ini didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam penegakan hukum di Indonesia memang ada sejumlah masalah seperti ketidakmampuan lembaga peradilan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat itu sendiri.
Keadilan dianggap sulit diperoleh, terutama bagi masyarakat kelas bawah yang merupakan kelompok yang tidak mampu dari segi materi. Jika kita bisa melihat fakta yang terjadi di lapangan dengan berbagai kasus yang ada dan melibatkan orang-orang kelas bawah.
Beberapa kasus seperti pencurian sandal yang dilakukan oleh seorang mahasiswa dari salah satu anggota polisi, misalnya, ada berbagai penyimpangan dalam kasus tersebut seperti sandal yang berbeda yang dipertanyakan dan penganiayaan terhadap pelaku oleh petugas polisi.
Dengan hanya mencuri sepasang sandal jepit yang kemungkinan besar juga bukan anak kecil, pelakunya malah dijatuhi hukuman 5 tahun penjara.
Apakah itu adil? Bahkan orang awam pun akan tahu apa yang dimaksud dengan keadilan. Berbeda dengan kasus-kasus yang melibatkan orang-orang kecil yang memang harus diselesaikan dengan rasa keadilan dan kekeluargaan, para pemimpin negara yang dihormati malah melakukan banyak korupsi dan masalahnya tidak diselesaikan.
Penegak hukum termasuk hakim, jaksa, polisi, pengacara dan penasihat hukum. Di tangan mereka terletak beban kewajiban untuk menerapkan prinsip keadilan sebagaimana dinyatakan dalam prinsip kedua secara optimal dan optimal.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya di Indonesia. Banyak kasus penegakan hukum tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Ada banyak kendala yang terjadi dalam penegakan hukum seperti mudahnya seseorang yang memiliki uang untuk mendapatkan fasilitas di ruang tahanan atau ada beberapa kasus yang sangat menghalangi keputusan yang diputuskan seperti kasus pencurian sandal di atas.
Penegakan hukum dari kepolisian juga dinilai sangat kurang, dapat dilihat dengan banyaknya penghilangan kendaraan bermotor yang diakhiri dengan istilah UUD (End-End of Money) atau yang biasa disebut uang suap.
Dan ada juga masalah mengenai kebijakan pemerintah yang dianggap kurang dan tidak didasarkan pada dasar hukum yang tepat. Sebagai kebijakan bagi pengendara sepeda motor yang diharuskan menyalakan lampu utama di siang hari yang dianggap kurang realistis.
Karena menyalakan lampu di siang hari sama dengan membuang-buang energi, sinar matahari cukup cerah bagi pengguna jalan.
Dan alasan banyaknya kecelakaan yang terjadi pada siang hari oleh pengguna sepeda motor tentu bukan karena lampu atau kurangnya cahaya.Dengan pemanasan global dan apa yang dinyatakan oleh pemerintah tentang penghematan energi, juga dipertanyakan karena memang benar bahwa menyalakan lampu di siang hari adalah pemborosan energi.
Beberapa undang-undang yang seharusnya dibuat setiap tahun dengan jumlah yang tetap ditunda sehingga hanya beberapa undang-undang yang telah direalisasikan. Ini tentu saja merupakan catatan bagi pemerintah bahwa undang-undang seharusnya untuk ketertiban dan menciptakan perdamaian di negara kita menjadi sangat tidak dapat diandalkan.
Selain masalah-masalah ini, tentu saja dengan adanya hukum yang lemah, pertahanan negara juga akan lemah. Kita bisa melihat dari berbagai kasus mengenai perbatasan nasional dan aneksasi wilayah dan budaya yang dilakukan oleh negara-negara tetangga.
Pemerintah Indonesia sangat lambat dalam mengambil sikap dalam hal pertahanan dan keamanan nasional, ada kesenjangan sosial di wilayah perbatasan Indonesia dan kota-kota lain di Indonesia dan fasilitas dan infrastruktur di wilayah perbatasan sangat sedikit masalah yang harus diambil serius oleh pemerintah.
Masyarakat perbatasan tentu merasa dianak anak-anak oleh pemerintah karena tidak ada peran pemerintah dalam mengatasi hal ini, dan tentu saja ini merupakan senjata bagi negara lain untuk dengan mudah mencaplok wilayah perbatasan sebagai negara mereka karena negara itu mengambil hati masyarakat dengan menyediakan berbagai kebutuhan oleh negara berbeda dari apa yang diberikan oleh pemerintah Indonesia.
Hal ini menyebabkan bahwa walaupun hukum di Indonesia didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, dalam implementasinya tidak ada semangat Pancasila yang melekat dalam setiap penegak hukum dan pemerintah Indonesia.
Dengan melemahnya hukum di Indonesia, tentu saja, sedikit demi sedikit, keadilan di Indonesia akan terkikis oleh sikap pemerintah seolah-olah hanya mementingkan dirinya sendiri, posisi dan kekuatan politik untuk dirinya sendiri dan partainya.
Sungguh ironis ketika kepercayaan orang terhadap pemimpin mereka menurun, dan saat itulah orang akan merasa sakit hati dan tidak percaya pada pemerintahan negara, karena kepercayaan adalah salah satu pilar keadilan dan kemakmuran.
Ketika hukum hanya berpihak pada kelompok-kelompok tertentu, keadilan juga akan memudar dan akan merusak status dan martabat negara. Dengan jatuhnya derajat negara, itu juga akan runtuh dan akan mudah bagi mereka yang merasa diuntungkan dari situasi ini, yaitu adanya intervensi asing dalam masalah negara.Karena intervensi itu sendiri sudah mulai muncul ketika banyak media asing melaporkan tentang jatuhnya negara ini. Sebagai salah satu contoh di mana ada media asing melaporkan masalah jembatan yang tidak pantas di Indonesia.
Masyarakat, terutama siswa yang ingin bersekolah, harus menantang hidup mereka dengan menyeberangi sungai hanya dengan seutas tali. Di mana peran pemerintah? Hanya ada janji yang akan disimpan pada suatu waktu.
Hukum adalah salah satu cara untuk memberikan keadilan, dan hukum harus ditegakkan dengan bijak, tegas dan apa adanya.Selain faktor-faktor di atas, faktor uang juga mempengaruhi penegakan hukum di Indonesia.
Beberapa kasus dapat menjadi cerminan dari lemahnya hukum di Indonesia ketika berbenturan dengan uang, misalnya kasus korupsi yang menjerat nama Gayus Tambunan.
Kasus ini sudah diselesaikan di pengadilan, tetapi meskipun Gayus telah dipenjara, sebenarnya dia masih bebas bepergian ke Bali dan bahkan ke luar negeri, yaitu Macau.
Hal ini disebabkan oleh lemahnya kepercayaan petugas yang seharusnya menegakkan keadilan hukum selurus mungkin ketika dihadapkan dengan uang.
Mereka tentu mengabulkan permintaan Gayus bukan gratis, tetapi ada hadiah yang diberikan kepada petugas. Beberapa kasus yang diungkapkan sebelumnya seperti kasus Artalita, semua ini tidak terlepas dari lemahnya kepercayaan pihak berwenang yang bertugas menegakkan hukum ketika dihadapkan dengan uang.
Apakah ini yang disebut “uang bicara”? Dan apakah hukum di negara ini yang mudah lunak? Jika sudah seperti itu, Anda bisa menilai sendiri apa yang sebenarnya telah menimpa hukum di negara kita tercinta ini, jadi jangan heran jika ada istilah yang kemudian muncul di masyarakat kita tentang penegakan hukum di Indonesia, yaitu KUHP (Cinta Pidana) Uang Setelah Kasus). Ini merupakan cerminan bahwa masyarakat Indonesia sudah mulai kehilangan kepercayaan terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Penegakan hukum yang semrawut, semrawut, dan mengesampingkan keadilan dapat diminimalisir jika hukum dikembalikan ke fungsi semula, yaitu menciptakan keadilan, ketertiban dan kenyamanan. Selain itu, menurut Soerjono Soekanto, hukum dapat berfungsi dengan baik, harmonis dan diperlukan hubungan antara empat faktor, yaitu:
1. Hukum dan peraturan itu sendiri.
Kemungkinannya adalah ada ketidaksesuaian dalam undang-undang tentang bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan lain adalah ketidakcocokan antara peraturan perundang-undangan dan hukum adat atau tidak tertulis. Terkadang ketidakcocokan antara hukum tertulis dengan hukum adat, dan sebagainya.
2. Petugas Mentalitas yang menegakkan hukum.
Penegak hukum termasuk hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas pemasyarakatan, dan sebagainya. Jika undang-undang itu baik, tetapi jika mentalitas penegakan hukum tidak baik, itu akan terjadi pada sistem penegakan hukum.
3. Fasilitas diharapkan untuk mendukung implementasi undang-undang.
Jika hukum dan peraturannya baik dan mentalitas lembaga penegak hukum baik, tetapi fasilitasnya tidak memadai, maka penegakan hukum tidak akan berjalan dengan baik.
4. Kesadaran dan kepatuhan hukum anggota masyarakat.
Namun di sisi lain juga perlu disadari bahwa penegakan hukum bukanlah tujuan akhir dari proses hukum karena keadilan belum tentu tercapai dengan penegakan hukum, meskipun tujuan akhirnya adalah keadilan.
Pernyataan di atas adalah tanda bahwa keadilan dalam masyarakat tidak bisa seragam. Ini karena keadilan adalah proses yang bergerak di antara dua kutub dari citra keadilan. Naminem Laedere saja bukan keadilan, Suum Cuique Tribuere juga tidak bisa berdiri sendiri sebagai keadilan.
Keadilan bergerak di antara kedua kutub ini. Pada satu waktu keadilan lebih dekat ke satu kutub, dan di lain waktu, keadilan lebih condong ke kutub lain. Keadilan yang mendekati kutub Naminem Laedere adalah ketika manusia berurusan dengan bidang kehidupan yang netral.
Namun, jika masalah yang dipertanyakan adalah bidang kehidupan spiritual atau sensitif, maka yang disebut adil lebih dekat ke kutub Suum Cuique Tribuere. Pemahaman ini menyiratkan bahwa hanya melalui tatanan hukum yang adil orang dapat hidup damai menuju kesejahteraan fisik dan spiritual (Abdul Ghofur, 2006: 55-56).
Penegakan hukum seringkali melukai rasa keadilan, baik keadilan menurut pandangan yuridis maupun keadilan menurut masyarakat. Ini adalah salah satu pemicu ketidakpercayaan publik terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum di masyarakat.
Jika kita melihatnya dari perspektif sosiologi hukum, kita dapat mengasumsikan bahwa ada dua faktor paling menonjol yang mempengaruhi aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum, yaitu faktor internal dan eksternal.
Adapun faktor-faktor internal (yang berasal dari penegakan hukum itu sendiri), salah satu contoh adalah kecenderungan penegak hukum untuk menegakkan hukum hanya berdasarkan pada hukum sehingga untuk mengesampingkan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.
Lebih jauh, faktor-faktor eksternal (yang berasal dari luar penegak hukum itu sendiri), misalnya, ketika suatu peristiwa hukum terjadi, ada kecenderungan masyarakat untuk menyelesaikannya dengan cara mereka sendiri.
Lembaga hukum adalah lembaga yang menjunjung tinggi keadilan dalam suatu masyarakat, sebuah lembaga di mana masyarakat menuntut dan mencari keadilan. Idealnya, lembaga hukum tidak boleh goyah sedikit pun dalam menerapkan keadilan berdasarkan ketentuan hukum dan syariah yang disepakati bersama.
Hukum menjamin bahwa keadilan dapat dilaksanakan murni dan konsisten untuk semua orang tanpa membedakan asal, warna kulit, posisi, kepercayaan, dan sebagainya. Jika keadilan tidak lebih maka masyarakat akan mengalami ketimpangan.
Karena itu, lembaga hukum dalam masyarakat sipil harus menjadi tempat untuk mencari keadilan. Ini dapat diciptakan jika lembaga hukum dihormati, dipelihara, dan dijamin integritasnya secara konsisten (Miftah, 2003: 218).
Jika kita melihat potret penegakan hukum di Indonesia setelah memeriksa berbagai kasus (menurut penulis) itu belum berjalan dengan baik, bahkan bisa dikatakan buruk. Lemahnya penegakan hukum di Indonesia sekarang dapat tercermin dalam berbagai resolusi kasus-kasus besar yang belum diselesaikan, salah satunya adalah praktik korupsi, tetapi ironisnya, sangat sedikit pelaku yang terjerat oleh hukum.
Fakta ini sebenarnya berbanding terbalik dengan sejumlah kasus yang melibatkan rakyat jelata, dalam hal ini aparat penegak hukum responsif, karena seperti yang kita ketahui, mereka yang terlibat dalam kasus korupsi adalah pendiri, alias pejabat dan orang kaya yang memiliki kekuatan untuk melakukan intervensi. efektivitas. dari penegakan hukum itu sendiri.
C. Dampak Penegakan Hukum di Indonesia
Penyalahgunaan atau ketidakkonsistenan di Indonesia berlangsung selama bertahun-tahun hingga sekarang, sehingga bagi masyarakat Indonesia ini adalah rahasia umum, undang-undang dibuat berbeda dari undang-undang yang dijalankan, contoh terdekat dengan lingkungan adalah, hilangnya pengemudi kendaraan yang melanggar peraturan lalu lintas.
Mereka yang melanggar aturan lalu lintas sering ingin berdamai di tempat atau memutarbalikkan hukum, maka aparatur yang menjunjung tinggi hukum dapat memenangkan hukum yang berlaku di Indonesia, tetapi tidak jarang penegak hukum benar-benar mengambil kesempatan yang tak terkatakan untuk meningkatkan pundi-pundi. coff uang.
Oleh karena itu, konsekuensi yang timbul dari masalah penyalahgunaan undang-undang meliputi, yaitu:
1. Ketidakpercayaan publik terhadap hukum
Masyarakat dengan banyak hukum merugikan mereka, terutama masalah materi sehingga mereka berusaha menghindarinya.
Karena mereka percaya bahwa uang berbicara, dan dapat meringankan hukuman mereka, fakta dibalik dengan materi yang siap untuk diberikan kepada penegak hukum. Kasus-kasus korupsi di Indonesia tidak sepenuhnya diselesaikan karena pejabat Negara terlibat dalam bermain-main dengan menyuap di sana-sini sehingga kasus ini tidak terungkap, akibatnya kepercayaan publik semakin memudar.
2. Menyelesaikan konflik dengan paksa
Resolusi konflik dengan kekerasan, misalnya, adalah pencuri ayam yang dipukuli oleh warga negara, pencuri sandal yang dihakimi oleh warga negara. Banyak konflik dalam kelompok orang di Indonesia telah diselesaikan melalui kekerasan, seperti pertikaian mahasiswa, bentrokan antar suku yang memperebutkan wilayah, atau ada satu suku yang terluka sehingga dihadiahi dengan kekerasan.
Mereka tidak mengindahkan peraturan tata kelola, dengan masalah geografis, mereka. Ini membuktikan bahwa orang Indonesia yang tidak didisiplinkan oleh hukum, harus memiliki masalah seperti pencuri sandal atau ayam dapat ditangani oleh pihak berwenang, tidak diadili secara sewenang-wenang, bahkan dapat mengambil nyawa seseorang.
3. Pemanfaatan Inkonsistensi Penegakan Hukum untuk Kepentingan Pribadi
Dari sejumlah kasus di Indonesia, banyak warga negara Indonesia mengambil keuntungan dari inkonsistensi penegakan hukum untuk keuntungan pribadi.
Contohnya adalah pengacara yang menyuap polisi atau hakim untuk membebaskan terdakwa, sedangkan polisi dan hakim yang seharusnya bisa menjadi penengah bagi kedua pihak yang terlibat dalam kasus hukum mungkin lebih condong ke materi yang disediakan oleh salah satu pihak yang terlibat dalam kasus hukum.
4. Penggunaan Tekanan Asing dalam Proses Peradilan
Dalam hal ini, kita dapat mengambil contoh perusakan lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan asing yang membuka bisnis di Indonesia, mereka akan meminta bantuan dari negara mereka untuk melakukan upaya untuk mendekati Indonesia, sehingga mereka tidak mendapatkan hukuman berat, atau mencabut mereka. izin produksi di Indonesia (Supriadi, 2008: 312).
D. Ketidakpuasan Masyarakat dengan Penegakan Hukum di Indonesia
Ketidakpuasan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia adalah fakta dan data yang ditunjukkan dari hasil survei masyarakat oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang menyatakan bahwa 56,0 persen publik menyatakan ketidakpuasan terhadap penegakan hukum di Indonesia, hanya 29,8 persen yang menyatakan kepuasan, sedangkan sisanya 14,2 persen tidak menjawab.
Mereka yang tidak puas dengan penegakan hukum di Indonesia didistribusikan secara merata di semua segmen. Mereka yang tinggal di kota dan desa, baik berpendidikan tinggi dan rendah, mereka yang berasal dari ekonomi atas dan bawah.
Namun, mereka yang tinggal di desa, berasal dari ekonomi yang lebih rendah, dan memiliki pendidikan rendah lebih tidak puas jika dibandingkan dengan mereka yang berada di kota dan memiliki pendidikan tinggi.
Ini karena mereka yang ada di desa dan kelompok ekonomi rendah sering menghadapi kenyataan merasa diperlakukan tidak adil ketika berurusan dengan lembaga penegak hukum.
Ketidakpuasan responden terhadap penegakan hukum di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun sebesar 37,4 persen (Survei LSI pada Januari 2010), sebesar 41,2 persen (Oktober 2010), sebesar 50,3 persen (September 2011), sebesar 50,3 persen (Oktober 2012), dan akhirnya 56,6 persen (April 2013) (http://www.lsi.or.id/riset/).Uraian di atas menunjukkan betapa korupnya hukum di Indonesia. Mungkin yang tidak disorot adalah penjara karena tidak banyak orang yang menontonnya. Tetapi institusi ini sebenarnya tidak bisa dikatakan sempurna.
Lembaga yang seharusnya berperan dalam memulihkan sifat narapidana (narapidana) ternyata tidak mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Jumlah tahanan yang lebih dari dua kali lipat kapasitas mereka membuat nasib para tahanan semakin buruk.
Mereka tidak lebih sadar, tetapi belajar untuk melakukan kejahatan baru setelah berkenalan dengan tahanan lain. Tentunya ini jauh dari konsep hukuman yang sebenarnya bertujuan untuk merehabilitasi orang terpidana.
Bahkan fakta yang ada saat ini, beberapa narapidana bebas membuat “aturan” sendiri dengan mengubah hotel Prodeo menjadi hotel bintang lima.
E. Memecahkan Masalah Penegakan Hukum di Indonesia
Berbagai realitas yang terjadi di era reformasi hingga kini terkait penegakan hukum di Indonesia tidak lagi relevan dengan apa yang dinyatakan dalam konstitusi negara.
Indonesia dengan berbagai masalah mengenai para penegak hukum anarkis, ini tidak sesuai dengan apa yang diimpikan oleh para pendiri bangsa sebelumnya. Banyak hal telah bergeser dari mandat konstitusi tetapi tidak tepat bagi kita untuk menyalahkan kegagalan sepenuhnya pada penegak hukum atau mereka yang melaksanakan hukum karena bagaimanapun masyarakat adalah pemegang hukum dan tempat di mana hukum berada .
Moto “Unity in Diversity” adalah jalan masuk yang sangat ke dalam komunitas kewarganegaraan. Kewarganegaraan pertama akan mempertanyakan siapa yang termasuk kategori warga negara atau kewarganegaraan dalam komunitas.
Reformasi hukum harus secara serius menjadikan “keberadaan keanekaragaman” menjadi agenda dan bagaimana merealisasikannya menjadi semua dasar hukum.
Jika kita belajar dari pengalaman, maka moto “Unity in Diversity” lebih menekankan pada aspek “Sole”, sehingga memperkosa keberadaan pluralisme. Demi kesatuan atau persatuan, pluralisme tidak diperbolehkan ada.
Berawal dari pengakuan keberadaan pluralisme, konflik bersifat fungsional untuk pembentukan masyarakat. Konflik bukanlah sesuatu yang tabu, karena mengakui keberagaman berarti mengakui konflik, sebagai sesuatu yang potensial.
Dengan demikian, filosofi yang dipegang adalah menyalurkan konflik sedemikian rupa sehingga menjadi produktif bagi masyarakat.Masalah masalah penegakan hukum telah menjadi tema yang sangat menarik untuk diangkat dalam berbagai seminar. Salah satunya adalah tidak ada kepuasan yang diraih oleh subyek hukum yang tidak lain adalah manusia dan berbagai badan hukum.
Saya mencoba memberikan beberapa solusi untuk berbagai masalah penegakan hukum di Indonesia. Yang pertama adalah bagaimana sikap dan tindakan para sarjana hukum untuk lebih memperluas wawasan mereka dalam memahami atau menganalisis masalah yang terjadi saat ini.
Di sini kita membutuhkan pandangan kritis tentang arti atau pentingnya penegakan hukum yang sebenarnya. Selain itu, ilmu sosial lainnya seperti sosiologi diperlukan dalam mengidentifikasi masalah sosial dan penegakan hukum di masyarakat sehingga di masa depan pembuatan undang-undang dapat membuat kekurangan atau kegagalan di masa lalu sebagai bahan pembelajaran.
Namun yang perlu diingat bersama adalah kesadaran dalam penerapan hukum dan keberadaan keadilan tanpa memandang suku, agama, ras, dan budaya sebagaimana tercantum dalam pasal 27 ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut: “Semua warga negara berada pada posisi yang sama dalam hukum dan pemerintahan dan harus menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tanpa kecuali. ”
Kemudian yang kedua, bagaimana menyelesaikan berbagai masalah yang terkait yaitu bagaimana tindakan aparat penegak hukum mulai dari polisi, hakim, jaksa, dan pengacara dalam menangani setiap kasus hukum berdasarkan nilai-nilai kejujuran, sadar akan nama keadilan, serta melaksanakan proses proses hukum sesuai dengan aturan yang ada dalam hukum negara kita.
Bukan hanya itu filosofi Pancasila sebagai prinsip spiritual dan sebagai cara hidup dalam bertindak atau sebagai pusat tempat praktiknya sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara kita sebagaimana dijelaskan dalam pembukaan UUD 1945 yang terkandung dalam paragraf IV.
Hukum seharusnya tidak ditegakkan dalam bentuknya yang paling kaku, sombong, hitam dan putih. Tetapi harus didasarkan pada rasa keadilan yang tinggi, tidak hanya mengikuti hukum dalam konteks undang-undang hitam dan putih.
Karena hukum yang ditegakkan hanya berdasarkan konteks hitam putih hanya akan menghasilkan keputusan kontroversial dan tidak memenuhi rasa keadilan yang sebenarnya.
BAB III
PENUTUPAN
KESIMPULAN
Masalah penegakan hukum di Indonesia adalah masalah yang sangat serius dan akan terus berkembang jika tidak ada perubahan elemen dalam sistem itu sendiri, tidak ada reformasi di lapangan itu sendiri. Karakter buruk bangsa Indonesia adalah aktor utama dari semua ketidaksesuaian dalam mengimplementasikan hukum di negara ini.
Harus ditekankan sekali lagi, meskipun tidak semua penegakan hukum di Indonesia tidak semuanya buruk, tetapi keburukan penegakan ini tampaknya menutupi semua keharmonisan hukum yang berjalan di mata publik.
Begitu banyak kasus hukum yang berganti-ganti dalam periode waktu yang relatif singkat, bahkan pada saat bersamaan. Perlu ada reformasi nyata, karena masalah hukum ini adalah masalah dasar suatu negara, bagaimana masyarakat dapat dijamin keamanannya atau bagaimana orang dapat merasakan keadilan sejati, hukum yang mengatur semua itu, dan perlu digaris bawahi bahwa hukum sebenarnya sesuai dengan kehidupan orang-orang, tetapi mereka yang ingin mengambil keuntungan dari pribadi dan kelompok adalah penggagas semua kebobrokan hukum di negara ini.
Perlu ada banyak evaluasi yang perlu dilakukan, harus ada tindak lanjut yang jelas mengenai penyelewengan hukum yang semakin umum terjadi. Perlu ada ketegasan dan kesadaran hierarkis dari individu atau kelompok yang terlibat di dalamnya.
Mentalitas yang kuat, sikap malu dan pendirian iman dan kesalehan perlu ditanamkan yang harus diberikan kepada kader pemimpin dan pelaksana aparatur negara atau pihak lain yang berkepentingan sejak masa kanak-kanak.
Karena itu baik untuk hukum Indonesia, baik untuk bangsa dan buruk untuk hukum di negara ini, konsekuensinya bagi masyarakat dan Negara juga akan buruk.Maka, aplikasi dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen ketiga yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”, harus dilaksanakan, karena ketentuan tersebut telah berlaku. Merupakan karakteristik yang harus tertanam dalam individu atau kelompok kepentingan.
Kita harus malu dengan Hukum, harus malu pada pendiri bangsa yang rela menumpahkan darah demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, kita harus menghargai semua perjuangan ini dengan hal-hal yang tidak dapat membuat negara ini malu di mata masyarakat ini. dan bahkan dunia luar.
Sebuah negara besar tidak hanya didasarkan pada luas wilayahnya atau jumlah penduduk, tetapi berkenaan dengan perjuangan para pahlawan sebelumnya dengan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku untuk menciptakan keamanan, perdamaian dan kesejahteraan masyarakat.
B. KRITIK DAN SARAN
Saya mengharapkan kritik dan saran dalam makalah ini, segala kekurangan dalam makalah ini mungkin karena kelalaian atau ketidaktahuan saya dalam persiapannya.
Segala sesuatu yang tidak relevan, kurang mengetik atau bahkan ketidakjelasan dalam makalah ini adalah proses saya mempelajari bidang studi ini dan diharapkan bahwa saya yang menulis atau untuk pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah ini.