Tahun Baru Masehi, Muslim Haram Merayakannya, Benarkah?
Tahun Baru Masehi, meuslim Haram Merayakannya, Benarkah? – Polemik tahunan kembali beredar di detik-detik menjelang pergantian tahun baru Masehi. Muara polemik tersebut adalah fatwa hukum yang membingungkan kubu yang melarang dan membolehkan perayaan Tahun Baru Kristus.
Sebagai bahan pertimbangan sebelum memilih fatwa hukum, perlu diuraikan tiga ‘utas kompleks’ yang tampaknya menjadi penyebab pro dan kontra dari fatwa tersebut.
Ketegaran pertama adalah kata asosiasi ‘Masehi’ dengan Yesus, sehingga tahun Masehi dipandang sebagai tahun Kristen.
Apalagi didukung oleh bukti sejarah bahwa kelahiran Yesus dijadikan sebagai dasar penentuan tahun 1 Masehi yang diperingati pertama kali pada 1 Januari 45 SM. Asosiasi ini identik dengan asosiasi pohon cemara sebagai pohon Natal.
Tahun Baru Masehi, Muslim Haram Merayakannya, Benarkah?
Implikasinya, ketika asosiasi Yesus dilekatkan dengan kata ‘Masehi’, maka fatwa hukum yang dikeluarkan adalah haramnya merayakan tahun baru Kristus, karena dianggap tasyabbuh (serupa) dengan agama lain.
Sebaliknya, jika pergaulan dicabut, seperti halnya pohon cemara yang bukan pohon Natal, meskipun digunakan sebagai pohon Natal, maka fatwa hukum yang dikeluarkan boleh. untuk merayakan Tahun Baru Kristus.
Soalnya sederhana, hanya ada dua model untuk menghitung tahun. Pertama, kalender matahari didasarkan pada orbit bumi mengelilingi matahari (revolusi bumi).
Kedua, penanggalan lunar didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi (revolusi bulan). Kalender matahari diadopsi pada tahun Masehi, sedangkan kalender lunar diadopsi pada tahun Hijriah.
Kalender Matahari dan kalender Bulan
Namun, Kalender Matahari dan Kalender Bulan tidak dapat diklaim sebagai ‘milik pribadi’ agama mana pun, baik Kristen maupun Islam. Keduanya adalah kalender ‘bersama’, karena digunakan sebagai kalender standar di seluruh dunia, seperti kalender Cina dan Saka. Secara implisit, Surah Yunus [10]: 5 menegaskan dua model penanggalan di atas.
Ayat pendukung lainnya adalah Surah al-Kahfi [18]: 25 tentang kisah Ashhabul Kahfi yang tidur selama 300 tahun menurut Kalender Matahari, atau 309 tahun menurut Kalender Bulan; karena perbedaan antara Kalender Matahari dan Kalender Bulan adalah 9 tahun untuk setiap 300 tahun.
Singkat kata, penyematan kata ‘Masehi’ dalam penanggalan matahari bukan berarti tahun masehi sama dengan tahun nasrani, jadi tidak serta merta membuatnya haram, hanya karena didasarkan pada nama-nama non-Islam.
Tahun Aljabar
Jika penggagasnya adalah umat Islam, tentunya Kalender Matahari tidak akan disebut Tahun Masehi, bisa jadi Tahun Aljabar.
Benang kusut kedua, pola pikir idealis versus realistis. Pola pikir idealis mengandaikan kehidupan imajiner di tengah kehidupan yang realistis. Pola pikir idealis menuntut agar umat manusia sebersih malaikat.
Implikasinya, pola pikir idealis tidak mau menerima kenyataan berupa dilema antara dua hal yang negatif. Misalnya, jika ada pasien yang harus memilih antara amputasi atau penyakitnya menyebar ke seluruh tubuh, maka pola pikir idealis akan menuntut dokter untuk menyembuhkan penyakitnya tanpa harus diamputasi.
Perayaan Tahun Baru Masehi Dalam Islam
Begitu juga ketika melihat fenomena perayaan tahun baru yang hampir tak terbendung, pola pikir idealis akan mengeluarkan fatwa haram atas segala aktivitas yang berkaitan dengan tahun baru, bahkan dalam bentuk dzikir dan shalat berjamaah.
Alasannya jelas, Nabi tidak pernah memberi contoh, sehingga dianggap bid’ah dhalallah atau bid’ah agama yang hilang.
Di sisi lain, pola pikir realistis mencoba mencari alternatif terbaik di antara semua kondisi negatif.
Dibolehkan bagi umat Islam merayakan tahun baru di tempat-tempat umum yang berpotensi maksiat, setidaknya dalam bentuk ikhtilath (bergaul dengan anggota non-mahram lawan jenis), atau memberikan kegiatan yang bermanfaat, seperti dzikir dan jemaat. sholat di masjid, mushola atau sekolah? Tentu saja alternatif kedua lebih baik dari alternatif pertama.
Oleh karena itu, fatwa yang berangkat dari pola pikir realistis adalah membolehkan perayaan tahun baru nasrani, selama tidak diisi dengan kemaksiatan.
Misalnya pendapat Abu al-Hasan al-Maqdisi yang dikutip dalam al-Hawi karya Imam al-Suyuthi. Tampaknya pola pikir realistis lebih relevan dengan redaksi yang digunakan Nabi Muhammad SAW dalam menangani kejahatan, yaitu “fal-yughayyirhu” yang artinya “maka ubahlah”. Artinya, penanganan kemunkaran tidak hanya dilakukan melalui tata cara larangan (nahi munkar); bisa juga melalui prosedur perubahan (transformasi).
Inilah yang dicontohkan Walisongo ketika mengubah cerita-cerita wayang, yang biasanya didasarkan pada epos Ramayana dan Mahabharata yang politeistik, menjadi cerita-cerita Islam monoteistik (tawhid), seperti Kalimasada. Jadi, alih-alih melarang umat Islam merayakan Tahun Baru Kristus, banyak orang.
Benang kusut ketiga adalah penegakan hukum itu kaku atau fleksibel? Bagi ulama yang berpandangan bahwa hukum harus diterapkan secara kaku, bagaimanapun situasi dan kondisinya, maka hukum hanya ada satu untuk satu perkara.
Ucapan Selamat Hari Natal Dan Tahun Baru
Misalnya, hanya ada satu undang-undang tentang ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru, yaitu haram tanpa kecuali.
Di sisi lain, bagi ulama yang memandang bahwa hukum harus diterapkan secara fleksibel, sesuai dengan situasi dan kondisi, ada banyak hukum untuk satu kasus. Misalnya, ada banyak undang-undang tentang ucapan Selamat Natal dan Tahun Baru.
Bagi pihak yang berkepentingan, seperti pejabat yang melindungi warga non-Muslim, hukum mengatakan tidak apa-apa (mbah).
Demikian pula, seorang Muslim dapat mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru kepada tetangganya yang beragama Kristen, semata-mata demi mempererat hubungan harmonis antar tetangga. Contoh ulama yang membolehkan adalah Yusuf al-Qaradawi, Mustafa al-Zarqa, Ali Jumah dan Quraish Shihab.
Demikian artikel Seorang muslim haram merayakan tahun baru masehi, benarkah? yang dikutip dari NU oNline dengan link https://nu.or.id/opini/menjernihkan-fatwa-hukum-tahun-baru-IUQZ2.